Advertisement
OKARA.BIZ.ID - Langkah berani diambil Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo. Dalam waktu dekat, ia akan melakukan mutasi terhadap aparatur sipil negara (ASN) pelaksana di seluruh perangkat daerah, termasuk di kecamatan hingga wilayah kepulauan.
Ini bukan sekadar pergeseran pegawai. Dalam bahasa pemerintahan, mutasi ASN adalah isyarat perubahan. Ia menjadi strategi pembaruan birokrasi yang bertujuan memperbaiki efektivitas pelayanan publik dan menyelaraskan posisi kerja dengan kompetensi yang dimiliki ASN.
Terlebih, ASN pelaksana adalah garda terdepan pelayanan publik. Mereka berada di meja administrasi, menjalankan teknis lapangan, dan menghubungkan warga dengan negara dalam aktivitas harian. Mutasi di level ini akan terasa langsung dampaknya.
Penyegaran atau Penyingkiran?
Secara teoritis, mutasi ASN adalah proses penyegaran. Ia mencegah stagnasi kerja dan memberi ruang bagi pegawai untuk belajar hal baru. Tapi publik tak pernah benar-benar lepas dari kecurigaan: apakah mutasi benar-benar objektif atau justru sarat muatan subjektif?
Sejarah birokrasi di berbagai daerah mencatat bahwa mutasi kerap disalahgunakan. Ada ASN yang dipindah karena dianggap “tidak sejalan”, bukan karena kinerja buruk. Ada juga rotasi yang dilakukan karena bisikan, bukan data.
Dalam konteks ini, Bupati Sumenep ditantang menjaga objektivitas mutasi. Apalagi mutasi dilakukan sebelum pergeseran pejabat struktural. Ini memberi pesan bahwa reformasi birokrasi dimulai dari bawah—dari para pelaksana tugas, bukan hanya para pengambil kebijakan.
ASN Pelaksana dan Beban di Kepulauan
Sumenep bukan daerah biasa. Ia punya wilayah daratan dan kepulauan yang tersebar luas. ASN pelaksana yang bekerja di kepulauan menghadapi tantangan berbeda: keterbatasan fasilitas, jarak yang jauh, dan tekanan pelayanan yang tidak sebanding dengan dukungan teknis.
Bupati menyatakan mutasi ini menyentuh seluruh wilayah, termasuk ASN di kepulauan. Jika memang berbasis kinerja, ini bisa menjadi penghargaan. ASN yang berkinerja baik di daerah terpencil layak diberi tempat yang lebih strategis.
Namun jika sebaliknya—jika ASN hanya dipindahkan karena laporan-laporan tanpa verifikasi—maka mutasi bisa berubah jadi sanksi halus. Ini justru bertentangan dengan semangat keadilan dalam birokrasi.
Menjaga Transparansi dan Keadilan
Transparansi adalah kata kunci dari mutasi ASN yang sehat. Proses rotasi harus dilakukan berdasarkan evaluasi kinerja, bukan berdasarkan selera pribadi pejabat. Dalam hal ini, peran Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) menjadi krusial.
Data harus bicara. Siapa yang pantas dipindah, siapa yang layak dipromosikan, dan siapa yang perlu dibina lebih lanjut—semua harus berbasis rekam jejak kinerja dan disiplin kerja.
Bupati juga mengimbau seluruh kepala OPD dan camat mengevaluasi staf pelaksana di jajarannya. Tapi pertanyaan pentingnya: apakah evaluasi itu dilakukan dengan alat ukur yang jelas dan terbuka? Ataukah hanya berdasar penilaian sepihak dari pimpinan unit kerja?
Profesionalisme ASN dan Tantangan Reformasi
Dalam pernyataannya, Bupati meminta seluruh ASN bersikap profesional dan siap ditugaskan di mana pun. Ini sejalan dengan prinsip dasar birokrasi: aparatur negara harus siap mengabdi di seluruh wilayah.
Namun profesionalisme juga menuntut keadilan. ASN tidak boleh menjadi korban mutasi yang bersifat personal. Mereka harus dihargai atas kerja keras dan pengabdiannya, terutama di wilayah sulit.
Jika mutasi ini berjalan objektif dan transparan, maka reformasi birokrasi bukan lagi jargon. Ia menjelma menjadi praktik nyata. Pemerintah Kabupaten Sumenep bisa menjadi contoh bahwa pembenahan birokrasi tidak melulu tentang elit struktural, tapi juga tentang memperkuat barisan pelaksana di garis depan.
Momentum untuk Membangun Kepercayaan Publik
Mutasi ASN adalah momen penting untuk membangun ulang kepercayaan publik terhadap birokrasi. Ketika masyarakat melihat pegawai digeser secara adil dan sesuai kinerja, maka mereka akan percaya bahwa pemerintahan bekerja dengan benar.
Sebaliknya, jika mutasi dijadikan alat balas jasa atau pelampiasan ketidaksukaan, kepercayaan publik akan runtuh. Yang tersisa hanya birokrasi yang lelah dan penuh kecurigaan.
Bupati Sumenep punya peluang besar: menjadikan mutasi sebagai simbol perubahan. Bukan sekadar memindahkan orang, tapi membangun ulang semangat pengabdian.
Karena di dalam setiap ruang kerja ASN, di belakang setiap meja pelayanan publik, harapan masyarakat dititipkan.
(*)