Advertisement
OKARA.BIZ.ID - Kinerja badan usaha milik daerah (BUMD) di Kabupaten Sumenep masih jadi perbincangan di tingkat legislatif. Komisi II DPRD Sumenep baru-baru ini menggelar evaluasi menyeluruh terhadap seluruh BUMD di bawah kendali pemerintah daerah. Hasilnya cukup mengecewakan: hanya satu BUMD yang tergolong sehat dan mampu berkontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah.
Evaluasi tersebut mengelompokkan BUMD ke dalam tiga kategori. Zona hijau untuk yang sehat, kuning bagi yang rawan, dan merah untuk yang tidak sehat. Dari klasifikasi itu, hanya PT Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) Bhakti Sumekar Perseroda yang memperoleh predikat sehat. Selebihnya berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
PT Sumekar, misalnya, masih terseok-seok dan bahkan disebut-sebut telah dua tahun menunggak gaji karyawan. Sementara PT Wira Usaha Sumekar (WUS) hanya bisa berharap pada kejelasan pembahasan rancangan peraturan daerah mengenai pengelolaan participating interest (PI) dari sektor migas. Nasibnya masih abu-abu.
Anggota Komisi II DPRD Sumenep, Masdawi, menyuarakan keprihatinan atas kondisi tersebut. Ia menekankan pentingnya langkah serius dari pemerintah daerah untuk membenahi kinerja BUMD. Namun, sayangnya, dorongan itu hanya berhenti sebagai seruan. Tidak ada konsep, strategi, atau solusi konkret yang ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Di sinilah letak persoalan fundamentalnya. Kritik memang penting, tapi lebih penting lagi adalah memberikan arah perbaikan. Dalam konteks pengawasan terhadap BUMD, DPRD tidak hanya berperan sebagai pengamat yang mencatat kelemahan, tapi juga harus menjadi penyedia gagasan yang mampu mendorong perubahan.
Apalagi, masalah BUMD bukan perkara baru. Tahun demi tahun, sejumlah BUMD di Sumenep terus menorehkan catatan buruk dalam laporan keuangan dan operasional. Beberapa bahkan nyaris tak memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), padahal semestinya bisa menjadi salah satu motor penggerak ekonomi daerah.
Minimnya kontribusi ini tentu menjadi beban tersendiri bagi anggaran daerah. Setiap penyertaan modal dari pemerintah ke BUMD yang tidak produktif pada dasarnya adalah pemborosan. Alih-alih menciptakan nilai ekonomi, justru menjadi penguras kas daerah.
Masdawi, sebagai politisi senior di Komisi II, semestinya bisa lebih jauh dari sekadar menyampaikan hasil evaluasi. Ia bisa menginisiasi forum bersama antara eksekutif dan legislatif untuk merumuskan langkah strategis penyelamatan BUMD. Misalnya, menyarankan merger antar-BUMD, meninjau ulang manajemen, atau bahkan membuka opsi privatisasi untuk yang benar-benar tidak sehat.
Pengawasan saja tidak cukup. Harus ada keberanian politik untuk membongkar akar masalah. Apakah manajemen BUMD bermasalah? Apakah orientasi bisnis tidak sesuai dengan potensi daerah? Apakah intervensi politik terlalu kuat? Semua itu memerlukan analisis mendalam, bukan sekadar klasifikasi warna.
Pemerintah daerah memang harus proaktif. Namun, DPRD pun tidak bisa hanya menjadi penonton. Dalam sistem tata kelola daerah, keduanya punya peran strategis untuk membentuk kebijakan yang berdampak. Jika hanya berhenti pada evaluasi dan rekomendasi normatif, publik akan terus mempertanyakan efektivitas DPRD sebagai lembaga perwakilan.
Yang dibutuhkan saat ini adalah kolaborasi berbasis data dan keberanian mengambil keputusan sulit. Audit menyeluruh perlu dilakukan pada BUMD yang masuk kategori merah. Peta jalan perbaikan harus dirancang dengan target dan indikator keberhasilan yang jelas.
Di sisi lain, BUMD yang sudah sehat seperti BPRS Bhakti Sumekar Perseroda harus dijadikan model. Studi terhadap keberhasilannya bisa membuka wawasan tentang manajemen dan inovasi bisnis yang berhasil diterapkan. Dari sana, transformasi bisa dimulai, bukan hanya dari kritik, tapi dari keteladanan.
Dengan begitu, pembenahan BUMD tidak hanya menjadi wacana musiman. Tapi benar-benar menjadi agenda reformasi ekonomi lokal yang menyeluruh. Dan itu hanya bisa terwujud jika DPRD juga berani menjadi motor solusi, bukan hanya sekadar pengawas pasif.
Apalagi, masalah BUMD bukan perkara baru. Tahun demi tahun, sejumlah BUMD di Sumenep terus menorehkan catatan buruk dalam laporan keuangan dan operasional. Beberapa bahkan nyaris tak memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), padahal semestinya bisa menjadi salah satu motor penggerak ekonomi daerah.
Minimnya kontribusi ini tentu menjadi beban tersendiri bagi anggaran daerah. Setiap penyertaan modal dari pemerintah ke BUMD yang tidak produktif pada dasarnya adalah pemborosan. Alih-alih menciptakan nilai ekonomi, justru menjadi penguras kas daerah.
Masdawi, sebagai politisi senior di Komisi II, semestinya bisa lebih jauh dari sekadar menyampaikan hasil evaluasi. Ia bisa menginisiasi forum bersama antara eksekutif dan legislatif untuk merumuskan langkah strategis penyelamatan BUMD. Misalnya, menyarankan merger antar-BUMD, meninjau ulang manajemen, atau bahkan membuka opsi privatisasi untuk yang benar-benar tidak sehat.
Pengawasan saja tidak cukup. Harus ada keberanian politik untuk membongkar akar masalah. Apakah manajemen BUMD bermasalah? Apakah orientasi bisnis tidak sesuai dengan potensi daerah? Apakah intervensi politik terlalu kuat? Semua itu memerlukan analisis mendalam, bukan sekadar klasifikasi warna.
Pemerintah daerah memang harus proaktif. Namun, DPRD pun tidak bisa hanya menjadi penonton. Dalam sistem tata kelola daerah, keduanya punya peran strategis untuk membentuk kebijakan yang berdampak. Jika hanya berhenti pada evaluasi dan rekomendasi normatif, publik akan terus mempertanyakan efektivitas DPRD sebagai lembaga perwakilan.
Yang dibutuhkan saat ini adalah kolaborasi berbasis data dan keberanian mengambil keputusan sulit. Audit menyeluruh perlu dilakukan pada BUMD yang masuk kategori merah. Peta jalan perbaikan harus dirancang dengan target dan indikator keberhasilan yang jelas.
Di sisi lain, BUMD yang sudah sehat seperti BPRS Bhakti Sumekar Perseroda harus dijadikan model. Studi terhadap keberhasilannya bisa membuka wawasan tentang manajemen dan inovasi bisnis yang berhasil diterapkan. Dari sana, transformasi bisa dimulai, bukan hanya dari kritik, tapi dari keteladanan.
Dengan begitu, pembenahan BUMD tidak hanya menjadi wacana musiman. Tapi benar-benar menjadi agenda reformasi ekonomi lokal yang menyeluruh. Dan itu hanya bisa terwujud jika DPRD juga berani menjadi motor solusi, bukan hanya sekadar pengawas pasif.
(*)