Advertisement
OKARA.BIZ.ID - SUMENEP - Pemerintah Kabupaten Sumenep baru-baru ini mengklaim capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai prestasi besar. Kepala Dinas Pendidikan Sumenep, Agus Dwi Saputra, menyatakan bahwa peningkatan IPM tahun 2024 tidak lepas dari prpgram inovatif Dinas Pendidikan.
Namun, pernyataan itu mengundang tanda tanya besar: Inovatif macam apa? Apa buktinya?
Data Badan Pusat Statistik memang mencatat tren kenaikan IPM Sumenep selama lima tahun terakhir. Harapan Lama Sekolah (HLS) meningkat dari 13,20 tahun pada 2020 menjadi 13,59 tahun pada 2024. Sementara Rata-rata Lama Sekolah (RLS) juga naik dari 5,71 tahun menjadi 6,10 tahun pada periode yang sama.
Sayangnya, Kepala Dispendik tidak menyertakan penjelasan tentang bentuk program inovatif yang dimaksud. Tak ada rincian. Tak ada data pendukung. Tak ada indikator kinerja.
Padahal, IPM bukan hanya soal jumlah tahun duduk di bangku sekolah. Ia cerminan kompleksitas pembangunan manusia—pendidikan, kesehatan, dan daya beli.
Khusus sektor pendidikan, kontributor terbesar justru adalah program nasional seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Indonesia Pintar (PIP), dan kebijakan wajib belajar 12 tahun yang digratiskan. Semua dikendalikan pemerintah pusat, bukan daerah.
Tanpa menyebut inisiatif spesifik, publik patut curiga. Dispendik mengklaim, tapi tak menyodorkan bukti. Apakah benar mereka memberikan bantuan langsung kepada siswa? Apakah mereka punya intervensi kebijakan yang berdampak signifikan? Tidak ada informasi yang menjawab itu.
Lebih lanjut, ini bukan pertama kalinya Agus Dwi Saputra mengeluarkan klaim yang menuai kritik. Penghargaan sebagai pejabat penggiat literasi nasional yang ia terima tahun ini juga menjadi polemik. Komunitas literasi di Sumenep merasa tak pernah melihat kontribusi nyata sang pejabat. Bahkan, data LKPJ Bupati 2024 menyebut peningkatan literasi daerah justru terlihat dari kunjungan ke Perpustakaan Daerah—bukan karena program dinas pendidikan.
Di tengah semarak pujian terhadap capaian IPM, publik berhak bertanya: siapa yang sesungguhnya bekerja, dan siapa yang hanya mengklaim?
Pemerintahan berbasis data menuntut transparansi. Klaim sepihak tanpa dasar hanya memperburuk kepercayaan masyarakat.
Bila ingin bicara soal prestasi, sebaiknya buktikan dengan data konkret, bukan sekadar pernyataan di media. Jika perlu, sajikan dalam bentuk infografis yang mudah diakses publik.
Transparansi adalah indikator penting dalam tata kelola pemerintahan. Bukan sekadar angka di kertas, tetapi kejelasan arah dan dampak dari setiap kebijakan.
(*)