Iklan

Iklan

Okara
Juni 16, 2025, 11:58 WIB
Last Updated 2025-06-16T04:58:16Z
Kolom Redaksi

Ketika Zakat Penghasilan 2,5% jadi Teror Nafkah Keluarga ASN Sumenep, Bagaimana Perasaaan Baznas?

Read To
Advertisement
Ketika Zakat Penghasilan 2,5% jadi Teror Nafkah Keluarga ASN Sumenep



OKARA.BIZ.ID - Zakat adalah instrumen penting dalam Islam untuk menjembatani jurang antara yang kaya dan yang miskin. Ia bukan sekadar kewajiban keagamaan, tapi juga manifestasi dari keadilan sosial. Namun, di tangan birokrasi, bahkan zakat bisa menjadi alat tekanan yang menyusahkan umat. Itulah yang kini menjadi kekhawatiran di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menyusul kebijakan pemotongan zakat penghasilan sebesar 2,5 persen yang dibebankan kepada gaji seluruh aparatur sipil negara (ASN), tanpa kecuali.

Baznas Sumenep memberlakukan pemotongan otomatis zakat dari penghasilan ASN sebesar 2,5 persen per bulan. Langkah ini, meskipun diklaim sebagai bentuk implementasi dari Instruksi Presiden, menimbulkan sejumlah pertanyaan etik, hukum, dan sosial yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Masalah utama terletak pada satu titik: tidak semua ASN di Sumenep memenuhi kriteria sebagai wajib zakat. Bahkan jika seluruh komponen penghasilan mereka dijumlahkan, banyak dari mereka yang belum menyentuh batas minimal (nishab) zakat penghasilan sebagaimana ditetapkan Baznas pusat.

Berdasarkan SK Ketua BAZNAS Nomor 13 Tahun 2025, nishab zakat penghasilan ditetapkan sebesar 85 gram emas per tahun, atau sekitar Rp85.685.972 per tahun, yang setara dengan Rp7.140.498 per bulan. Jika penghasilan ASN berada di bawah angka itu, maka secara hukum syar’i tidak ada kewajiban zakat. Namun dalam praktiknya, seluruh ASN di Sumenep tetap dipotong zakat setiap bulan, tanpa memperhatikan batas nishab tersebut.

Kebijakan ini menjadi persoalan karena dijalankan tanpa seleksi, tanpa pendekatan personal, dan tanpa kajian ekonomi riil terhadap kehidupan ASN di lapangan. Banyak ASN yang memiliki tanggungan cicilan, kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak, hingga biaya hidup harian yang tidak murah. Jika zakat dipaksakan kepada mereka yang belum mampu, maka niat baik itu justru berubah menjadi bentuk penindasan baru yang dibungkus syariat.

Masalah lain yang tidak kalah serius adalah minimnya ruang keberatan. ASN yang tidak bersedia gajinya dipotong takut dicap antiagama, tidak taat, bahkan dianggap membangkang terhadap sistem. Dalam struktur birokrasi yang hierarkis dan kaku, keberatan atas kebijakan seperti ini nyaris tidak memiliki ruang untuk disuarakan secara terbuka. Tak heran jika sebagian ASN memilih diam, meski dalam hati mereka merasa diperlakukan tidak adil.

Baznas tentu bisa berdalih bahwa pemotongan ini bagian dari upaya kolektif untuk meningkatkan dana sosial keagamaan. Namun argumen tersebut menjadi lemah ketika dasar hukum dan moral yang menyertainya tidak terpenuhi. Dalam Islam, zakat bukan sekadar urusan administratif. Ia memiliki kaidah syariat yang jelas. Tidak ada zakat tanpa nishab. Tidak ada zakat dari mereka yang masih berjuang mencukupi kebutuhan dasarnya.

Lebih dari itu, zakat sejatinya diberikan dari yang mampu kepada yang tidak mampu, bukan sebaliknya. Jika dana zakat dikumpulkan dari ASN yang penghasilannya belum mencapai nishab, lalu disalurkan kepada warga kurang mampu, maka terjadilah ironi. Yang rentan membantu yang lebih rentan, dan yang miskin membiayai yang lebih miskin. Ini bukan amal sosial, melainkan distorsi keadilan.

Baznas Sumenep juga tampak mengabaikan pendekatan humanis yang seharusnya menyertai kebijakan publik. Tidak ada inventarisasi menyeluruh atas data penghasilan ASN, tidak ada sosialisasi terbuka, apalagi kajian ekonomi mikro tentang daya beli ASN pascapotongan. Kebijakan yang menyangkut urusan penghidupan ribuan orang semestinya tidak lahir hanya dari ruang rapat dan tanda tangan di atas kertas.

Kecenderungan otoritatif seperti ini rawan mencederai rasa keadilan sosial. Bahkan, jika ditarik ke dalam wacana konstitusi, kebijakan semacam ini dapat dianggap sebagai bentuk penjajahan terselubung oleh negara atas warganya. Padahal, Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyatakan: “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Zakat adalah kewajiban yang suci. Tapi seperti ibadah lainnya, ia hanya sah jika dijalankan dengan niat dan syarat yang terpenuhi. Dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 3 Tahun 2003, zakat penghasilan dikenai kepada orang yang secara finansial mampu, dan yang penghasilannya mencapai batas nishab. Bahkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, ditegaskan bahwa zakat harus dikumpulkan secara profesional dan akuntabel, dengan memperhatikan prinsip keadilan dan transparansi.

Jika semua ini dilanggar, maka zakat tidak lagi menjadi ibadah sosial, tapi berubah menjadi sekadar potongan wajib yang membuat rakyat kecil kian terjepit.

Sudah waktunya Baznas Sumenep melakukan evaluasi menyeluruh, tidak hanya dari sisi teknis pengumpulan, tapi juga dari sisi etik dan dampaknya terhadap kehidupan ASN. Jangan sampai kebijakan yang digagas dengan semangat keislaman justru melahirkan ketimpangan baru. Jangan sampai lembaga yang seharusnya menjadi jembatan antara yang mampu dan yang membutuhkan, malah menjadi instrumen tekanan atas nama agama.

Muhasabah atau introspeksi diri adalah langkah awal yang tepat. Jika ternyata kebijakan ini menimbulkan ketidaknyamanan, kesulitan, bahkan memaksa sebagian ASN untuk mengurangi jatah makan anak mereka, maka tidak ada alasan untuk mempertahankannya. Dalam Islam, kebaikan yang dilakukan dengan cara yang salah tidak pernah dibenarkan.

Zakat haruslah menjadi pelindung bagi yang lemah, bukan sumber penderitaan baru. ASN adalah tulang punggung pelayanan publik. Mereka bukan ATM berjalan yang bisa dipotong penghasilannya tanpa pertimbangan. Jika lembaga zakat ingin dihormati, maka keadilan harus menjadi ruh dalam setiap kebijakannya.


(*)



Referensi:

  • SK Ketua BAZNAS No. 13 Tahun 2025 tentang Nishab Zakat Penghasilan
  • Fatwa MUI No. 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan
  • UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
  • Pembukaan UUD 1945
close