Advertisement
KOLOM REDAKSI:
Soal siapa yang seharusnya membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kembali mencuat. Hasan Basri, seorang pejabat di lingkup DPRD, menulis sebuah artikel yang memicu diskusi tajam. Ia mengajukan tafsir tunggal: Badan Anggaran (Banggar) adalah satu-satunya organ DPRD yang berwenang membahas Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD.
Keyakinan itu bersumber pada Pasal 15 huruf d Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018. Dalam pasal tersebut memang disebutkan bahwa salah satu fungsi Banggar adalah membahas rancangan perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Sepintas, seolah tidak ada celah lagi untuk diperdebatkan. Namun, narasi hukum tak pernah sesederhana yang terlihat di permukaan.
Hasan menyebut bahwa pasal itu menyiratkan keistimewaan Banggar. Bahwa hanya Banggar-lah satu-satunya alat kelengkapan DPRD yang disebut secara eksplisit sebagai pihak yang sah membahas pertanggungjawaban APBD. Di sinilah logika tunggal itu mulai tampak goyah.
Dalam tulisannya, Hasan juga menyebut pasal lain, yakni Pasal 48 huruf b dalam PP yang sama. Pasal ini menjelaskan tugas dan wewenang komisi di DPRD, yaitu membahas rancangan perda. Hasan menafsirkan bahwa tugas ini bersifat umum, hanya berlaku untuk perda non-APBD. Sebuah kesimpulan yang terlalu sempit dan berpotensi menyesatkan.
Mengapa? Karena dalam struktur perundang-undangan, tidak ada satu pun pasal yang bisa berdiri sendiri. Selalu ada korelasi antar pasal, baik untuk memperkuat makna maupun untuk memperjelas konteks. Dalam hal ini, perlu dilihat pula Pasal 54 yang mengatur secara khusus tentang tugas dan wewenang Banggar.
Pasal 54 huruf c dan d menyebutkan bahwa Banggar hanya memberikan saran dan pendapat dalam mempersiapkan Raperda APBD dan pertanggungjawabannya. Selain itu, Banggar juga berperan dalam melakukan penyempurnaan setelah proses evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri atau Gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
Artinya, Banggar bukan satu-satunya aktor yang membahas Raperda pertanggungjawaban. Peran utamanya adalah memberikan masukan dan menyempurnakan setelah tahapan tertentu. Maka jika mengacu pada struktur pembahasan regulatif, tugas “membahas” dalam arti substantif tetap berada di tangan komisi-komisi.
Logika ini semakin diperkuat oleh makna kebahasaan. KBBI menjelaskan bahwa “fungsi” adalah peran atau pekerjaan yang dilakukan. Sementara “tugas” adalah sesuatu yang wajib dilakukan sebagai tanggung jawab. Perbedaan ini krusial. Karena dalam kerangka tata kerja DPRD, fungsi menunjukkan arah umum, sedangkan tugas dan wewenang menunjukkan tanggung jawab spesifik.
Dalam konteks Banggar, fungsinya memang berkaitan dengan pembahasan pertanggungjawaban APBD. Namun, tugas dan wewenangnya, sebagaimana disebut dalam Pasal 54, hanya terbatas pada pemberian saran dan penyempurnaan. Tidak ada klausul eksplisit bahwa Banggar menjadi satu-satunya pihak yang membahas isi Raperda itu sejak awal.
Sementara Komisi, berdasarkan Pasal 48 huruf b, memiliki kewenangan membahas semua rancangan perda. Tidak ada penjelasan yang membatasi bahwa perda tersebut harus non-APBD. Bahkan dalam bagian penjelasan PP 12 Tahun 2018, tak ditemukan satu pun keterangan yang mengesampingkan perda yang berkaitan dengan APBD.
Di sinilah letak kekeliruan Hasan. Ia terlalu cepat menyimpulkan berdasarkan satu pasal, tanpa melihat konteks menyeluruh dalam regulasi yang sama. Padahal, sebagai seorang lulusan hukum, seharusnya ia memahami bahwa dalam sistem hukum Indonesia, semua pasal harus dibaca secara sistematis dan tidak boleh ditafsirkan secara lepas.
Ada satu lagi aspek penting: prinsip checks and balances dalam kerja DPRD. Komisi sebagai alat kelengkapan tetap harus dilibatkan dalam pembahasan Raperda pertanggungjawaban. Banggar tidak bisa menjadi satu-satunya aktor karena peran komisi adalah mengawal bidang-bidang substantif sesuai dengan pembidangan kerja. Jika bidang pertanian mengalami defisit anggaran, misalnya, tentu Komisi yang membidangi pertanian yang paling memahami permasalahan riilnya.
Itulah sebabnya, selama ini pembahasan Raperda APBD, termasuk pertanggungjawabannya, selalu melibatkan lintas alat kelengkapan DPRD. Banggar sebagai organ yang meramu dari sisi anggaran, sementara komisi bertugas mengawal substansi dan pelaksanaan program di lapangan.
Penyempitan makna pembahasan Raperda hanya pada Banggar tidak hanya bertentangan dengan semangat regulasi, tetapi juga melemahkan peran DPRD secara kolektif. Alih-alih memperkuat tata kelola pemerintahan daerah, tafsir sempit ini justru bisa menjadi batu sandungan bagi akuntabilitas publik.
Dalam kerja legislatif, kehati-hatian dalam menafsirkan norma menjadi syarat mutlak. Bukan semata soal legalitas, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan antarlembaga dalam sistem demokrasi lokal.
Sebagai penutup, barangkali kita perlu mengingat kembali adagium klasik dalam dunia hukum: lex specialis derogat legi generali. Tapi dalam kasus ini, justru pasal-pasal yang disebut sebagai "spesialis" itu ternyata tak lebih dari bagian kecil dari mozaik peran DPRD. Keseluruhan sistem menunjukkan bahwa Komisi tetap menjadi pilar utama dalam pembahasan semua jenis Raperda, termasuk yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Jadi, jika ingin bicara tentang siapa yang paling berwenang membahas Raperda pertanggungjawaban APBD, jawaban sederhananya: bukan hanya Banggar, melainkan juga Komisi. Karena dalam kerja DPRD, kolektifitas adalah fondasi utama.
(*)