Advertisement
OKARA.BIZ.ID - SUMENEP - Pemerintah Kabupaten Sumenep baru bersuara ketika kondisi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sudah di ambang kehancuran. PT Sumekar, salah satu BUMD strategis milik daerah, sudah lama dalam kondisi tidak sehat. Gaji karyawan tidak dibayarkan hampir dua tahun, operasional terganggu, dan pelayanan publik tersendat. Tapi anehnya, baru sekarang pemerintah mengaku akan mengevaluasi.
Kepala Bagian Perekonomian dan Sumber Daya Alam Setkab Sumenep, Dadang Dedy Iskandar, mengklaim pihaknya sudah melakukan pembinaan dan evaluasi terhadap direksi PT Sumekar. Tapi jika benar dilakukan, mengapa krisis ini sampai terjadi? Retorika pembinaan terasa hambar ketika ratusan pegawai dipaksa bertahan hidup tanpa kepastian penghasilan.
Dadang bahkan menyebut kondisi PT Sumekar memang kurang stabil. Ia mengeluh bahwa subsidi dari pemerintah daerah pun belum mampu mengangkat perusahaan dari keterpurukan. Tapi logika publik sederhana: jika tahu perusahaannya bermasalah, mengapa dibiarkan? Mengapa tidak ada langkah konkret bertahun-tahun sebelumnya?
Kini Pemkab berencana melakukan evaluasi menyeluruh, termasuk kemungkinan mengganti jajaran direksi sebagaimana ditulis Radar Madura (24/05/2025). Langkah ini terlalu terlambat. Pergantian seharusnya dilakukan saat sinyal awal masalah muncul, bukan setelah perusahaan terseok-seok dan kepercayaan publik runtuh.
Yang lebih ironis, evaluasi ini bukan hanya ditujukan untuk PT Sumekar, tapi juga lima BUMD lain di bawah naungan Pemkab Sumenep. Seolah-olah semua perusahaan daerah bermasalah dan baru sekarang menjadi perhatian. Pemerintah daerah sibuk menggelar evaluasi massal, tapi tak satu pun pejabat mengakui ada kelalaian dalam pengawasan selama ini.
Pernyataan Dadang soal pakta integritas dan kesiapan direksi untuk dirotasi terdengar seperti gimik penyelamatan muka. Padahal, yang harus lebih dulu dievaluasi adalah kinerja bagian ekonomi Pemkab sendiri. Jika mereka tahu kondisi Sumekar tidak sehat, lalu membiarkannya, maka merekalah bagian dari persoalan.
Langkah-langkah yang digembar-gemborkan hari ini justru membuka luka lama: pembiaran sistematis atas persoalan struktural. Selama ini, BUMD dijadikan alat politik dan penempatan loyalis. Profesionalisme dikesampingkan, dan akibatnya rakyat yang menjadi korban.
PT Sumekar bukan perusahaan biasa. Ia menyangkut akses transportasi masyarakat kepulauan, yang sangat bergantung pada layanan laut. Ketika manajemen kacau, dampaknya bukan hanya pada pegawai, tapi juga pada warga yang kini kehilangan akses aman dan murah. Tapi semua itu seakan luput dari perhatian Pemkab.
Sekarang, Pemkab berharap BUMD bisa berkontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Harapan itu terlontar setelah mereka membiarkan perusahaan-perusahaan ini menumpuk kerugian. Evaluasi yang ditawarkan tak lebih dari reaksi panik. Bukan solusi jangka panjang, bukan pula pembenahan menyeluruh.
Sikap Pemkab mencerminkan birokrasi yang reaktif, bukan antisipatif. Ketika api sudah membakar, barulah mereka datang membawa air. Tapi bahkan dalam kondisi kebakaran, air yang dibawa tak cukup memadamkan apapun. Yang ada hanya serangkaian pernyataan normatif yang tak menjawab pertanyaan publik: siapa yang akan bertanggung jawab?
Sumekar adalah simbol kegagalan tata kelola BUMD di Sumenep. Tapi lebih dari itu, ia adalah cermin dari ketidakmampuan birokrasi mengantisipasi, merespons, dan menyelesaikan masalah. Kini, ketika semuanya sudah telanjur hancur, Pemkab hanya sibuk cuci tangan. Rakyat, seperti biasa, menjadi pihak yang harus menerima konsekuensinya.
Di balik krisis Sumekar, ada sistem pengawasan yang lemah, ada budaya tutup mata, dan ada pejabat yang tetap duduk tenang meski gagal menjalankan tugas. Pemkab Sumenep seharusnya tak hanya mengevaluasi direksi BUMD, tapi juga diri mereka sendiri. Karena membiarkan masalah bertahun-tahun bukanlah kesalahan teknis. Itu adalah bentuk nyata dari pembiaran.
(*)