Advertisement
OKARA.BIZ.ID - SUMENEP - Malam itu, Pendopo Agung Keraton Sumenep ramai tepuk tangan. RSUD dr. H. Moh. Anwar menerima penghargaan sebagai Pelopor Transformasi Layanan Kesehatan Daerah dalam ajang SMSI Award 2025. Sebuah malam yang dikemas megah, penuh sambutan hangat dan ucapan selamat. Namun, di balik semaraknya anugerah dan parade pujian, ada pertanyaan yang tak boleh diabaikan: apakah semua pujian ini benar-benar bersumber dari pelayanan kesehatan yang memang membaik?
Publik kerap dijejali narasi-narasi keberhasilan, terutama dalam layanan kesehatan. Namun kunci penting yang harus terus digaungkan adalah bahwa pemberitaan positif seharusnya lahir dari realitas pelayanan yang memang baik — bukan dari upaya memoles fakta agar terlihat indah di mata publik.
Naiknya status RSUD Moh. Anwar dari tipe C menjadi tipe B tentu bukan capaian sepele. Peningkatan mutu layanan, profesionalitas sumber daya manusia, serta sistem manajemen yang membaik memang layak diapresiasi. Tapi apakah suara pasien hingga warga kecil yang bergantung pada rumah sakit ini benar-benar telah didengar dalam proses ini? Ataukah mereka hanya penonton diam dalam panggung transformasi sepihak?
Transformasi layanan publik tidak boleh semata dideklarasikan dalam ruang-ruang seremonial. Apalagi jika pemberitaan hanya menjadi alat legitimasi, bukan cerminan kondisi sebenarnya di lapangan. Dalam hal ini, media harus berdiri sebagai penjaga objektivitas, bukan sekadar penggembira acara penghargaan.
Di tengah peningkatan status rumah sakit, masih banyak keluhan masyarakat yang berserakan. Antrean panjang, tenaga medis yang kurang ramah, atau akses layanan yang tidak merata masih menjadi cerita harian sebagian warga. Apakah ini juga masuk dalam bahan evaluasi yang dirayakan dalam SMSI Award?
Pelayanan kesehatan bukan soal gedung tinggi dan plakat penghargaan. Ia menyangkut nyawa dan martabat manusia. Maka pujian yang dibangun tanpa dasar pelayanan yang benar-benar membaik justru berbahaya. Ia bisa menutupi kekurangan, menenggelamkan kritik, dan menghilangkan ruang perbaikan.
SMSI sebagai asosiasi media siber semestinya menjadi mitra kritis, bukan mitra seremoni. Apresiasi memang penting, tetapi tidak boleh mengaburkan fungsi utama media: menjadi suara masyarakat dan alat kontrol sosial. Bila media hanya menyuarakan keberhasilan dari perspektif pengelola tanpa memotret suara dari bawah, maka yang tercipta adalah citra semu. Pelayanan publik akan kehilangan cermin untuk bercermin.
Ketua SMSI Sumenep menyebut penghargaan ini adalah bagian dari dukungan terhadap pelayanan dan inovasi. Tapi dukungan yang terlalu lembut bisa jadi pembius, bukan pemacu. Yang dibutuhkan pelayanan publik adalah kritik jujur yang membangun, bukan sekadar sanjungan yang menyenangkan telinga.
Transformasi sejati hanya mungkin jika melibatkan semua pihak. Termasuk pasien, keluarga mereka, hingga masyarakat sipil lainnya. Jika perubahan hanya diumumkan dari atas tanpa ruang dialog ke bawah, maka yang terjadi bukan transformasi, melainkan monolog kekuasaan.
Tak ada salahnya mengapresiasi keberhasilan. Tapi jauh lebih penting memastikan bahwa keberhasilan itu nyata dan dirasakan masyarakat, bukan sekadar perubahan status administratif yang dikemas dengan bahasa manis.
Kepercayaan publik terhadap rumah sakit, media, dan pemerintah dibangun dari kejujuran. Pemberitaan yang positif harus lahir dari kondisi yang benar-benar membaik, bukan dari tekanan citra atau kebutuhan publikasi semata.
Karena dalam pelayanan publik, bukan penghargaan yang utama, tetapi kepuasan dan keselamatan warga. Dan dalam dunia jurnalistik, bukan kemasan narasi indah yang utama, tetapi kebenaran yang memberi arah perubahan.
Sumenep memang layak mendapatkan layanan kesehatan yang lebih baik. Tapi perbaikannya harus dimulai dari kejujuran. Termasuk kejujuran dalam menyampaikan kabar baik — bahwa ia datang dari pelayanan yang benar-benar positif, bukan sekadar dibungkus dengan retorika.
(*)