Iklan

Iklan

Okara
Mei 14, 2025, 21:08 WIB
Last Updated 2025-05-14T14:08:56Z
Edukasi

Benarkah Kita Menggunakan Otak Hanya 10 Persen Saja?

Read To
Advertisement
Benarkah Kita Menggunakan Otak  Hanya 10 Persen Saja?


OKARA.BIZ.ID - Bayangkan jika manusia benar-benar hanya memakai 10 persen dari kemampuan otaknya. Apa yang terjadi jika sisanya diaktifkan? Menjadi jenius? Telepati? Telekinesis? Pertanyaan ini sudah lama menggelitik banyak orang, dan mitosnya terus hidup bahkan di era sains modern.

Ungkapan bahwa manusia hanya menggunakan sebagian kecil dari otaknya terdengar dramatis dan menjanjikan potensi luar biasa. 

Namun, para ahli saraf dan ilmuwan kognitif selama beberapa dekade terakhir justru menemukan fakta sebaliknya. Klaim itu tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.

Imaging otak modern seperti functional magnetic resonance imaging (fMRI) dan positron emission tomography (PET scan) membuktikan bahwa hampir seluruh bagian otak menunjukkan aktivitas, bahkan saat kita sedang beristirahat. Tidak ada bagian otak yang benar-benar diam.

Ketika seseorang membaca, seperti saat ini, otaknya bekerja dalam sistem yang kompleks: lobus oksipital memproses visual, area Broca dan Wernicke berperan dalam bahasa, dan korteks motorik mengatur gerakan tangan saat menggulir layar. Semua bagian ini aktif bersamaan.

Namun, gambaran otak yang sering muncul dalam dokumentasi medis bisa menyesatkan. Area berwarna mencolok pada gambar fMRI memang terlihat dominan, tapi itu bukan berarti bagian lain tidak aktif. Warna-warna itu hanya menunjukkan bagian yang mengalami peningkatan aktivitas dibandingkan saat diam.

Mitos otak 10 persen sudah terlanjur mengakar dalam budaya populer. Film seperti Limitless atau Lucy menguatkan narasi bahwa sisa 90 persen otak menyimpan kekuatan super. Sebuah survei tahun 2013 bahkan menunjukkan 65 persen warga Amerika masih mempercayainya. Ironisnya, sepertiga mahasiswa psikologi—yang seharusnya memahami otak manusia—juga mempercayainya.

Jika memang benar manusia hanya memakai 10 persen otaknya, seharusnya kerusakan pada bagian mana pun tak berdampak besar. 

Namun kenyataannya, kerusakan kecil saja bisa berakibat fatal. Stroke ringan yang mengenai bagian sempit otak bisa menyebabkan hilangnya kemampuan bicara atau gerak.

Salah satu kasus yang menggugah terjadi di Florida. Seorang wanita kehilangan separuh otaknya akibat kekurangan oksigen. Hasilnya tragis: ia tak lagi mampu berpikir, merasakan emosi, atau mengenali lingkungan. Ini membuktikan bahwa hampir setiap bagian otak membawa peran vital bagi eksistensi manusia.

Dari sisi evolusi, mitos ini juga tak masuk akal. Otak manusia hanya 2 persen dari total massa tubuh, namun menyerap lebih dari 20 persen energi tubuh. Evolusi tidak akan mempertahankan organ sebesar dan seboros ini jika hanya 10 persen yang berguna.

Perbandingan dengan hewan pun mencengangkan. Otak ikan, burung, atau mamalia lain hanya menyerap 2-8 persen energi tubuh mereka. Artinya, seleksi alam memberi manusia kemampuan berpikir tinggi dengan konsekuensi energi yang besar—karena seluruh otak dibutuhkan.

Lalu dari mana asal mitos 10 persen ini? Jawabannya tidak tunggal. Salah satu sumbernya kemungkinan berasal dari tokoh psikologi William James yang menyebut bahwa “manusia hanya mengembangkan sebagian kecil dari potensi mentalnya.” Kalimat ini kerap disalahartikan sebagai penggunaan otak secara harfiah.

Buku-buku pengembangan diri seperti How to Win Friends and Influence People juga memperkuat narasi ini, dengan mengklaim bahwa orang biasa hanya menggunakan sebagian kecil dari kemampuan mentalnya. Interpretasi populer kemudian melompat pada kesimpulan “10 persen otak” secara fisik.

Di sisi lain, eksperimen awal dari ahli bedah otak Wilder Penfield pada 1930-an juga memicu kesalahpahaman. Saat menstimulasi otak pasien epilepsi, ia menemukan area yang tidak menimbulkan reaksi. Tapi ternyata area “sunyi” itu seperti lobus prefrontal, memiliki fungsi kompleks seperti pengambilan keputusan, bukan sekadar respon sensorik.

Kini, teknologi neuroimaging telah membongkar anggapan keliru itu. Tidak ada area otak yang sepenuhnya diam. Bahkan saat tidur, otak tetap aktif menjaga fungsi tubuh, memproses memori, dan meregulasi emosi.

Mitos 10 persen seolah memberi harapan bahwa manusia bisa “mengakses potensi tersembunyi.” Tapi sains berkata lain. Otak bukan mesin tersembunyi yang menunggu diaktifkan, melainkan organ yang sudah bekerja penuh, bahkan saat kita merasa tidak melakukan apa-apa.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kita memakai 10 persen otak, tapi mengapa mitos ini terus hidup? Mungkin karena manusia selalu ingin merasa memiliki potensi lebih. Dan karena itu, narasi “hanya 10 persen” memberi ruang pada imajinasi untuk bermimpi menjadi lebih dari yang ada saat ini.

(*)
close