Iklan

Iklan

Okara
Mei 28, 2025, 09:00 WIB
Last Updated 2025-05-29T02:00:16Z
Kolom Redaksi

Saat LSM Gebrak Meja di SD Duko, Apa yang Sebenarnya Ingin Mereka Tunjukkan?

Read To
Advertisement
Saat LSM Gebrak Meja di SD Duko, Apa yang Sebenarnya Ingin Mereka Tunjukkan


KOLOM REDAKSI: 


Saat LSM gebrak meja di SD Duko, apa yang sebenarnya ingin mereka tunjukkan? Pertanyaan ini menggema di benak banyak orang setelah video aksi seorang pria dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) beredar luas di media sosial.

Dengan nada tinggi dan tangan menghantam meja, pria itu marah-marah di hadapan pria berseragam keki dan disaksikan siswa SD yang masih polos. Entah apa motif sebenarnya di balik amukan tersebut, namun yang pasti, pemandangan itu bukanlah cerminan dari aktivisme yang sehat.

Kejadian ini bukan sekadar soal kehilangan kesabaran. Ini adalah gejala dari memburuknya etika sebagian kelompok masyarakat sipil yang merasa berhak bertindak semena-mena atas nama pengawasan publik. Seolah karena mengatasnamakan kontrol sosial, mereka boleh berteriak sebebasnya dan membuat anak-anak gemetar dalam diam. Padahal, sekolah adalah ruang aman. Bukan tempat demonstrasi jalanan, apalagi arena intimidasi.

Perlu diingat, dalam negara hukum seperti Indonesia, setiap tindakan memiliki koridornya. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak hanya memberi ruang gerak kepada ormas, tapi juga memberi batasan tegas. Tidak boleh ada kekerasan, tidak boleh mengganggu ketertiban umum, apalagi menggantikan peran penegak hukum. Maka, pertunjukan emosi di SD Duko jelas melanggar aturan. Lebih dari itu, ia mencederai nalar publik.

Jika memang ada dugaan penyimpangan penggunaan Dana BOS, tentu ada jalur yang sah untuk mengungkapnya. Bisa melalui Inspektorat, aparat penegak hukum, atau Ombudsman. Bahkan permintaan klarifikasi secara tertulis pun sah-sah saja. Namun, menciptakan kegaduhan di depan anak-anak sekolah bukan hanya salah prosedur. Itu juga salah arah.

Apa yang bisa dipelajari anak-anak dari insiden ini? Bahwa yang keras akan menang? Bahwa kemarahan lebih mujarab ketimbang diskusi? Atau bahwa hukum bisa dilewati jika seseorang mengaku mewakili masyarakat? Jika ini yang mereka tangkap, maka kita sedang menanamkan nilai-nilai yang salah dalam dunia pendidikan.

Ironi makin dalam saat Dinas Pendidikan Sumenep menyatakan telah menempuh jalan damai. Tentu, De-eskalasi penting untuk mencegah konflik melebar. Namun langkah damai semacam ini juga rawan disalahartikan. Seolah memberi sinyal bahwa tindakan semena-mena bisa diabaikan begitu saja. Bahwa kekerasan verbal boleh terjadi asal kemudian diakhiri dengan jabat tangan.

Kita perlu menyadari bahwa sekolah bukan medan tawar-menawar kekuasaan. Ia adalah tempat anak-anak tumbuh dan belajar nilai kehidupan. Maka, siapa pun yang memasuki lingkungan sekolah, terlebih membawa nama organisasi masyarakat, wajib tunduk pada etika dan hukum. Bukan justru mempermalukan institusi pendidikan di hadapan murid-murid yang seharusnya dilindungi.

Di tengah situasi ini, Pemerintah Kabupaten Sumenep punya pekerjaan rumah penting. Dinas Pendidikan dan Badan Kesbangpol perlu memperketat pengawasan terhadap aktivitas ormas. Perlu pendataan yang akurat, pembinaan yang berkelanjutan, serta sanksi tegas bagi yang melanggar. Tidak boleh ada lagi ruang bagi aktivisme yang menyimpang dari aturan.

Selain itu, para kepala sekolah dan guru harus diberi perlindungan hukum yang memadai. Jangan sampai mereka terus-menerus menjadi sasaran tekanan dari luar yang tidak memiliki legitimasi. Dunia pendidikan harus dilindungi, bukan dibiarkan terbuka untuk intervensi sewenang-wenang.

Apa yang terjadi di SD Duko seharusnya menjadi alarm keras. Bahwa tidak semua yang mengaku mengusung misi sosial benar-benar membawa kebaikan. Ada kalanya, justru arogansi yang ditonjolkan. Dalam konteks ini, keberanian tidak cukup. Ia harus disertai etika. Jika tidak, maka yang tersisa hanyalah kebisingan tanpa makna.

Kita butuh masyarakat sipil yang kritis, bukan yang kasar. Kita butuh pengawas yang paham aturan, bukan yang sekadar cari panggung. Dan kita butuh keberanian yang berlandaskan nilai, bukan kemarahan yang menjelma pertunjukan murahan.

Sumenep, dan daerah lain di seluruh Indonesia, mesti sigap menjaga marwah pendidikan. Jangan biarkan institusi mulia ini runtuh oleh gaya aktivisme yang kehilangan arah. Karena di ujungnya, bukan hanya sekolah yang hancur, tapi masa depan anak-anak kita.

(*)
close