Iklan

Iklan

Okara
Mei 12, 2025, 21:27 WIB
Last Updated 2025-05-12T14:27:51Z
Edukasi

Jejak Sejarah Spiritualitas Waisak dan Evolusinya di Berbagai Belahan Dunia

Read To
Advertisement
Jejak Sejarah Spiritualitas Waisak dan Evolusinya di Berbagai Belahan Dunia



OKARA.BIZ.ID - Waisak, dikenal pula sebagai Vesak atau Buddha Jayanti, merupakan salah satu perayaan paling suci dalam kalender umat Buddha. Ia bukan sekadar hari raya, tetapi momen refleksi mendalam yang menggabungkan tiga peristiwa penting dalam kehidupan Sang Buddha: kelahiran, pencerahan, dan wafatnya. Ketiganya dipercaya terjadi bertepatan dengan bulan purnama di bulan Vesakha, yang jatuh antara April dan Mei dalam kalender Masehi.

Asal usul hari suci ini masih menjadi wilayah abu-abu dalam catatan sejarah awal Buddhisme. Teks-teks kanonik Buddhis generasi awal tidak menyebutkan secara eksplisit perayaan ini. Namun, dalam kronik sejarah Mahavaṃsa dari Sri Lanka pada abad ke-5 hingga ke-6 Masehi, Waisak mulai muncul sebagai bagian dari kesadaran spiritual kolektif umat Buddha Theravada.

Penyebutan ritual serupa dalam catatan Faxian, peziarah dari Tiongkok yang mengunjungi India pada abad ke-5, menambah keyakinan bahwa Waisak telah berakar dalam tradisi Buddhis di berbagai wilayah sejak lama. Sejumlah sejarawan memperkirakan Waisak pertama kali dibentuk di Sri Lanka pada masa penyebaran agama Buddha oleh Kaisar Ashoka dari India, sekitar abad ke-3 SM.

Waisak kemudian berkembang menjadi sebuah simbol identitas keagamaan yang kuat. Di Sri Lanka, perayaan ini mengalami transformasi dramatis pada abad ke-19. Kala itu, Sri Lanka berada dalam tekanan kolonial Inggris. Lembaga keagamaan Buddha yang sebelumnya memiliki peran sentral dalam masyarakat menjadi termarjinalkan. Dominasi misionaris Kristen turut mempersempit ruang ekspresi spiritual umat Buddha.

Gerakan kebangkitan Buddhisme mulai bermunculan sebagai bentuk perlawanan. Mereka tidak hanya membela keyakinan, tetapi juga menyusun ulang cara Waisak diperingati. Hari raya ini tidak lagi eksklusif bagi komunitas monastik, melainkan meluas menjadi ajang spiritual sekaligus budaya bagi umat awam. Upaya Henry Steel Olcott, seorang teosofis asal Amerika, yang sukses mendesak pemerintah kolonial menjadikan Waisak sebagai hari libur nasional pada 1883, menandai titik balik penting.

Lentera-lentera bersinar mulai meramaikan malam Waisak di kota-kota besar seperti Kolombo. Lagu-lagu, parade, kartu ucapan, hingga pertunjukan kisah hidup Sang Buddha di ruang publik menjadi bagian dari ekspresi religius yang baru. Tradisi yang sebelumnya hanya berdiam dalam ruang kuil kini hadir di ruang sosial yang lebih luas. Waisak menjadi semacam “Natal Buddhis” yang kaya makna dan meriah secara visual.

Dalam pelaksanaannya, Waisak juga mencerminkan struktur sosial umat Buddha yang terbagi antara sangha (komunitas monastik) dan umat awam. Para biksu dan biarawati biasanya mengisi hari suci ini dengan pembacaan sutra, meditasi, dan wacana tentang dharma. Di sisi lain, umat awam turut serta dengan mempersembahkan bunga, dupa, makanan, dan menyalakan lilin sebagai bentuk penghormatan.

Salah satu praktik paling mencolok adalah pelepasan burung atau binatang yang sebelumnya dikurung ke alam bebas. Praktik ini dimaksudkan sebagai bentuk penghimpunan karma baik atau jasa (punya). Namun, dalam beberapa dekade terakhir, praktik ini menghadapi kritik karena dampak ekologisnya yang tidak diinginkan. Hewan yang dilepaskan di habitat yang tidak sesuai bisa memicu ketidakseimbangan ekosistem. Sebagai respons, sejumlah komunitas Buddha mulai mengganti praktik tersebut dengan kegiatan lain seperti menerapkan pola makan vegetarian, memberikan berkat pada hewan peliharaan, atau bekerja sukarela di tempat penampungan hewan.

Ritual lainnya yang cukup populer adalah memandikan patung bayi Sang Buddha. Di banyak negara, terutama yang menganut aliran Mahayana seperti Vietnam dan Korea Selatan, upacara ini dilakukan dengan khidmat. Dalam perayaan Phat Dan di Vietnam, patung bayi Buddha dimandikan sebagai simbol pemurnian jiwa. Lentera berbentuk bunga teratai menghiasi langit malam, menghadirkan nuansa sakral sekaligus estetika yang memukau.

Di Korea Selatan, ulang tahun Buddha dirayakan dengan festival Yeondeunghoe yang menghidupkan ribuan lentera berwarna-warni. Perayaan ini memiliki makna spiritual yang mendalam, sekaligus menjadi atraksi budaya yang mengundang banyak pengunjung. Di Cina, perayaan kelahiran Buddha disebut Fódàn dan juga ditandai dengan pelepasan hewan dalam praktik yang disebut fengsheng.

Jepang merayakan Waisak dengan sebutan Hana Matsuri atau “Festival Bunga” setiap 8 April. Di Taiwan, perayaan kelahiran Buddha bahkan dirayakan bersamaan dengan Hari Ibu, memberikan makna tambahan tentang kasih sayang universal.

India dan Nepal, tempat asal kelahiran Buddha Shakyamuni, menyebut hari suci ini sebagai Buddha Purnima atau Buddha Jayanti. Di sana, umat Buddha memperingatinya dengan ritual-ritual khas, ziarah ke tempat suci, dan kegiatan amal. Tradisi ini tidak hanya menumbuhkan keimanan, tetapi juga memperkuat nilai-nilai solidaritas sosial.

Dalam Buddhisme Tibet, peringatan ini dinamakan Saga Dawa Düchen, yang merujuk pada bulan keempat dalam kalender lunar Tibet. Bulan ini dianggap sangat suci, di mana pahala dari setiap tindakan baik dipercaya akan berlipat ganda. Oleh karena itu, umat Buddha Tibet memanfaatkannya untuk menjalankan praktik spiritual secara intensif.

Seiring waktu, Waisak menjelma menjadi perayaan lintas negara, lintas budaya, bahkan lintas sekte. Di Amerika Serikat dan Eropa, komunitas diaspora Buddha turut melestarikan tradisi ini. Waisak dirayakan dengan pendekatan nonsektarian, membuka ruang bagi berbagai aliran untuk bergabung dalam satu perayaan spiritual. Lentera, meditasi bersama, dan acara seni menjadi bagian dari cara komunitas internasional memperingati hari agung ini.

Melalui evolusinya, Waisak tidak hanya menegaskan sejarah kehidupan Sang Buddha, tetapi juga mencerminkan dinamika spiritual, sosial, dan kultural yang terus bergerak. Ia bukan sekadar ritual, tetapi cermin dari bagaimana agama hidup berdampingan dengan zaman dan menyatu dengan konteks masyarakat di mana ia dipraktikkan.

Dalam dunia yang terus berubah, Waisak tetap menjadi ruang kontemplasi tentang pentingnya welas asih, kesadaran, dan kehadiran batin. Ia mengingatkan bahwa di tengah keramaian dunia, selalu ada ruang untuk diam, merenung, dan mengingat jalan pencerahan yang pernah ditempuh oleh Sang Buddha.

(*)
close